Dengan bangga, mereka menunjukkan aplikasi cekmata.com saat berkunjung di redaksi Jawa Pos Rabu (13/12). Sambil memberikan penjelasan, Caesar Lagaliggo Givani dan Ivan Sinarso mempraktikkan cara kerja aplikasi yang dapat digunakan siapa pun secara cuma-cuma itu.
Caesar lantas membuka cekmata.com pada handphone-nya. Kali ini Ivan menjadi objek yang matanya diperiksa. ”Caranya mudah,” ungkap Caesar.
Setelah berhasil masuk ke aplikasi, sistem secara otomatis langsung terhubung dengan kamera. Itu untuk memotret mata pasien. Pria 25 tahun tersebut memosisikan kamera ke mata kanan Ivan. ”Yang difoto hanya mata. Ada pengarahnya agar posisinya dapat sesuai,” jelas Caesar.
Jepret. Satu kali hasil foto mata itu selanjutnya langsung dianalisis oleh sistem dalam aplikasi. Penggunanya cukup menunggu beberapa detik. Setelah itu, muncul laporan analisis kondisi mata. Pasien menderita katarak atau tidak. ”Ivan matanya sehat. Jadi, muncul tulisan pasien tidak menderita katarak,” kata Caesar. Demikian juga sebaliknya. Kalau mata pasien sakit, pasti muncul laporan adanya katarak.
Diagnosis katarak atau tidak itu merupakan hasil kerja artificial intelligence (kecerdasan buatan) yang digunakan pada cekmata.com. Tentu tidak mudah untuk menghasilkan analisis seperti yang dilakukan manusia. Butuh data sebanyak-banyaknya untuk dimasukkan terlebih dulu dalam sistem. Itu akan membantu sistem agar bisa makin akurat dalam menganalisis pasien katarak.
Semakin banyak data yang dimasukkan, analisis aplikasi kian akurat. ”Kalau sekarang, tingkat akurasi sistem kami mencapai 80 persen,” jelasnya.
Capaian itu diperoleh Caesar dkk setelah memasukkan data kondisi mata ribuan orang. ”Masih kurang banyak sampai benar-benar 100 persen,” sahut Ivan.
Sebelumnya mereka menggunakan cekmata.com untuk memeriksa penderita katarak dari berbagai kota di Jawa Timur. Selain Surabaya, mereka berkeliling ke Kediri, Lumajang, Mojokerto, dan Malang. Riset itu dilakukan sejak September. Kebetulan Caesar adalah dokter di RSUD dr Soetomo. Dia saat ini sedang menjalani program profesi dokter spesialis (PPDS). Karena itu, dia dapat melakukan kerja sama dengan beberapa rumah sakit daerah dan dokter-dokter di sana untuk mengembangkan aplikasi ciptaannya.
Sampai saat ini pun, mereka masih rutin keliling ke rumah sakit maupun puskesmas untuk memeriksa katarak dengan aplikasi. Sedangkan Ivan adalah mahasiswa International Business Management (IBM) di Universitas Ciputra. Dengan begitu, dia bertugas mengatur pemasarannya.
Satu lagi, Sylvester Albert Samadhi, adalah dosen teknologi informasi (TI) di Universitas Ciputra. Pria lulusan Nanyang Technological University (NTU), Singapura, itu mengambil alih utak-atik sistem dalam aplikasi. ”Kami kenal dan dekat sejak SMA. Tidak menyangka juga bisa melengkapi satu sama lain dengan misi yang sama,” ungkap Caesar.
Alumnus Fakultas Kedokteran Unair itu lantas menceritakan pengalaman mereka saat melakukan riset. Salah satunya di Kediri. Saat itu mereka mengikuti program bakti sosial pemeriksaan katarak secara gratis. Dari 230 orang yang diperiksa, 180 orang terdeteksi memiliki katarak. ”Seram banget, ya. Sayang sekali kalau dibiarkan saja,” jelas pria kelahiran Samarinda, 25 Maret 1992, itu.
Ada pasien yang percaya, ada pula yang awalnya sempat ragu dengan hasil laporan pada aplikasi. Ternyata, saat dirujuk ke dokter, pasien itu memang menderita katarak. ”Tidak masalah. Ini menjadi bagian membangun kualitas aplikasi kami,” ujar Caesar.
Menurut Caesar, katarak dapat disembuhkan kalau sudah diketahui sejak dini. Sebaliknya, apabila dibiarkan saja, katarak dapat mengakibatkan kebutaan. Karena itulah, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mata sangat penting.
”Sayangnya, banyak yang tidak peduli. Datang-datang ke dokter, sudah parah,” terang Caesar. Terlebih lagi, gangguan pada lensa mata itu tidak menyebabkan rasa sakit. Itulah yang menjadi alasan pasien sering mengabaikan.
Dengan aplikasi yang dapat digunakan siapa pun dan di mana saja itu, tiga sahabat alumnus SMAK St Louis 1 tersebut berharap karya mereka bisa membantu mengurangi jumlah pasien katarak di mana saja. Terlebih di Indonesia. ”Ayo peduli dengan katarak. Jangan diabaikan,” tegas Ivan. Aplikasi itu dapat digunakan sebagai pengantar untuk pemeriksaan lebih lanjut ke dokter.
Sejatinya, mereka menciptakan platform online itu untuk tujuan sosial. Tidak ada embel-embel mencari keuntungan. Namun, tanpa disangka, cekmata.com mendapatkan juara pertama kategori e-health tingkat nasional dalam kompetisi start-up.
Ajang tersebut diselenggarakan Telkomsel pada November. Mereka pun berhasil mendapat total hadiah Rp 7 miliar. ”Hadiahnya berupa uang tunai dan pelatihan,” kata pria kelahiran Mataram, 28 Desember 1996, tersebut. Awal tahun depan mereka juga mengikuti pelatihan terkait aplikasi di Silicon Valley, Amerika Serikat.
Penghargaan tersebut merupakan salah satu bonus yang dirasakan dari hasil kerja keras mereka. Meski begitu, mereka tidak mau terlena. Mereka tetap pada prinsip awal. Pembuatan aplikasi itu tidak sekadar untuk kompetisi. Tapi, membantu para penderita katarak.
Saat ini mereka terus berupaya mengembangkan cekmata.com. Selain menambah data secara terus-menerus sampai akurasi 100 persen, kualitas pun ditingkatkan. Salah satunya dengan analisis katarak secara lebih detail lagi. Bukan sekadar diketahui katarak atau tidak, nanti pengguna dapat mengetahui tingkat keparahannya.
Selain itu, mereka ingin mengembangkan aplikasi dalam bentuk offline. Dengan begitu, siapa pun dapat menggunakannya tanpa butuh jaringan internet. Itu, menurut Ivan, sangat membantu masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.
Pasien juga nanti dapat terhubung langsung dengan dokter. Karena itu, saat ini mereka berupaya menjalin kerja sama dengan para dokter untuk ikut dalam aplikasi. ”Jadi, nanti pasien dapat rujukan ke mana dokter yang sesuai,” ungkap Ivan.