All Posts in Category: Motivasi

Katarak, Ongkos Medis, dan Ongkos Sosial di Cimenyan

Katarak, Ongkos Medis, dan Ongkos Sosial di Cimenyan

Keterbelakangan ekonomi dan sosial masyarakat perdesaan mengakibatkan masalah kesehatan menjadi pelik. Inilah salah satu catatan tentang kesehatan mata dari Cimenyan.

Setiap Jumat pagi, Odesa.id mengantar para bapak-bapak dan ibu-ibu dari beberapa Kampung di Kawasan Kecamatan Cimenyan Kabupaten Badung yang diduga penyandang katarak. Mereka dibawa ke RS Salamun Ciumbuleuit. Mereka menjalani screening mata. Ketua Divisi Amal Sosial Odesa Ir. Didik Harjogi yang bertanggungjawab untuk soal layanan kesehatan ini.

Sudah dua kelompok yang di-screening. Kelompok pertama (semuanya laki-laki lanjut usia) diantar Jumat pekan lalu. Dari enam yang diperiksa, satu yang positif katarak. Selebihnya ada yang cukup pakai obat atau pasang kacamata. Ada seorang yang memang syarafnya sudah rusak. Pada gelombang II, dari tujuh orang (semuanya ibu-ibu), hanya dua yang katarak. Mereka yang katarak akan dioperasi September nanti.

Soal kesehatan ini, warga desa memang ada hambatan yaitu soal akses informasi. Negara sudah berupaya membuat sistem kesehatan masyarakat. Sudah puluhan tahun ada puskesmas.

Belakangan pemerintah menerbitkan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Biaya pengobatan (medical cost) untuk warga desa pra sejahtera bisa dibayarkan melalui KIS ini. Tapi tidak semua warga memahami fungsi KIS ini. Mereka tetap beranggapan bahwa mereka harus membayar biaya rumah sakit.

Akhirnya kartu KIS cuma tersimpan di laci lemari saja. Karena itu di sini pentingnya strategi komunikasi kesehatan (health communication). Setiap kebijakan kesehatan harus dibarengi strategi komunikasi agar program kesehatan ini tersampaikan sampai pelosok desa.

Di sisi lain, ada warga yang paham fungsi KIS. Namun mereka tak punya biaya untuk ongkos-ongkos non medis seperti ongkos dari rumah ke puskesmas atau ke rumah sakit, ongkos sewa kendaraan untuk angkut pasien, ongkos transport dan makan untuk menunggu keluarga yang dirawat di RS. Juga tak punya uang dapur untuk keluarga yang ditinggalkan saat dia menunggu keluarga yang rawat inap di RS, karena kalau mereka menunggu anak/istri/suami/orangtua di RS artinya mereka meninggalkan pekerjaan. Apalagi kalau mata pencaharian si penunggu ini buruh harian, baik buruh pabrik atau buruh tani. Hilanglah upah harian, atau posisi pekerjaannya terancam diisi orang lain.

Ini yang disebut dengan ongkos sosial atau societal cost (terimakasih untuk Pak dokter Panji Fortuna Hadisoemarto yang memperkenalkan istilah medical costdan societal cost kepada saya). Plus keluguan warga desa, maka societal costmenyebabkan niat baik negara dan hak warga tidak bisa ketemu. Akibatnya, penyakit warga desa yang semula penyakit ringan, kemudian berkembang menjadi berat, contohnya katarak ini.

Atau ada juga yang sejak lama menderita mata minus atau plus yang sebetulnya penyelesaiannya hanya dengan memasang kacamata. Tetapi karena ketidaktahuan warga soal akses kesehatan mata ini, maka penyelesaian sederhana ini tertunda bertahun-tahun. Akhirnya produktivitas mereka terganggu. Apalagi kebiasaan membaca di desa sangat kurang (untuk tidak mengatakan tak ada). Coba bayangkan kalau membaca itu kita tanamkan sejak kecil, maka ia akan jadi kebutuhan. Nah kalau membaca itu merupakan kebutuhan, tentu warga akan dipaksa mencari kacamata atau periksa ke dokter jika pada suatu saat matanya minus, plus, silindris atau katarak. Orang hobi baca biasanya gelisah bila kenyamanan mata terganggu.

Saya menduga di daerah-daerah yang literasinya rendah, tingkat penyakit mata tinggi. Kita sebagai warga masyarakat bisa berperan dalam mengatasi societal cost ini. Masjid-masjid, pesantren-pesantren, gereja-gereja, RW atau RT dan lain-lain adalah simpul-simpul kemasyarakatan yang seharusnya mengembangkan sikap peduli (care) terhadap lingkungan. Simpul-simpul ini harus menjadi jaring-jaring penyelamatan warga (social safety net). Jangan sampai ada warga yang menderita hanya karena tak punya ongkos ke puskesmas atau rumahsakit. Wallahualam…

Budhiana Kartawijaya

 

Sumber: student.cnnindonesia.com/inspirasi/20170807214526-454-233136/katarak-ongkos-medis-dan-ongkos-sosial-di-cimenyan/

Read More
asturiah pasien katarak

Asturiah: Mata Emak Ingin Bisa Mengaji Lagi

Saat pulang dari rawap inap rumah sakit dan ditanya, “Betah dirawat di rumah sakit?” Sebagian besar bahkan hampir semua orang yang pernah dirawat akan menjawab seperti ini, senyaman-nyamannya rumah sakit, sekalipun itu ruang VIP, lebih nyaman tinggal di rumah, sehat wal afiat. Namun tidak bagi Mak Haji.

Ibu Asturiah namanya, tetapi tetangga-tetangganya akrab menyapa nenek yang berusia hampir 80 tahun ini dengan sapaan “Mak Haji”. Kalau ditanya, kapan beliau berhaji, “Dulu waktu Emak gadis,” jawabnya sambil senyum memandang masa lalu.

Dahulu, beliau hidup bertiga dengan suami dan anak semata wayangnya. Kini, Mak Haji sudah 40 tahun tinggal sendiri  di rumah petak ukuran tidak lebih dari 3 m x 3 m. Hanya sebuah ruangan, tanpa jamban. Satu tempat seadanya untuk menyimpan semua miliknya. Suami Mak Haji sudah lama wafat sedangkan anaknya hilang saat ikut pendakian gunung bersama teman-teman sekolahnya. Saudara yang paling dekat tinggal dengan Mak Haji adalah adik bungsunya. Kondisinya tidak berbeda jauh dengan Mak Haji. Tak ingin merepotkan keluarga adiknya, Mak Haji pun memutuskan untuk tinggal sebatang kara di rumah kecil itu.

Kesendirian beliau sesaat sirna oleh kehangatan keluarga di ruang rawat inap RS Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa (RS RST DD). Keluarga tersebut tak lain adalah dokter dan perawat yang memberikan perhatian kepadanya yang selama ini tidak dirasakan oleh beliau di petakannya di daerah Pamegarsari, Kampung Lebak Wangi, Parung. Yang membuat beliau menolak pulang dari rawat inap. “Emak ga mau pulang, emak di sini aja, biar Emak ada yang ngasih obat buat sebulan,” kata Emak saat dibujuk pulang oleh perawat seusai operasi katarak mata kanannya. Di masa tuanya sekarang, ada yang tidak ingin hilang dirasakannya, yaitu suasana hangat keluarga, diperhatikan, dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Terlepas dari perawatan medis, makanan yang enak, dan ruangan yang nyaman.

Mata kanan Mak Haji harus dioperasi karena katarak. Sebelumnya banyak yang menakut-takuti beliau tentang seramnya operasi mata. Namun tekad beliau kuat, “Emak pengen bisa ngaji lagi. Bisa melihat jelas lagi untuk bisa membaca Al Quran. Emak sedih, sudah lama Emak ga ikut pengajian karena mata Emak buram, ga bisa lihat Al Qur’an.” Subhanallah, keinginan luhur ini yang membuatnya berani. “Dokter dan perawatnya baik, jadi Emak ga takut. Malah kadang emak digodain (red: diajak bercanda),” tuturnya sambil terseyum. Ditangani oleh dr. Shinta Yoneva, Sp.M, alhamdulillah hari Selasa (18/7) lalu Mak Haji berhasil menjalani operasi katarak pertamanya.

 

Menepis hidup yang kekurangan, sosok Ibu Asturiah adalah wanita yang ramah dan murah hati. Di lingkungan tempat ia tinggal, Mak Haji rajin mengikuti pengajian. Dalam hatinya ia yakin bahwa Allah Maha Baik dan hidupnya tidak akan terlantar. Kepada siapa saja yang baik kepadanya, memberinya makanan, zakat, ataupun mengongkosinya naik angkot untuk ke RS RST DD, Mak Haji pasti membalas dengan doa,  “Yang ikhlas ya, Nak. Semoga sehat jasmani dan rohaninya, murah rezekinya.” Pun ketika tim Humas mengantarnya pulang ke rumah dengan ambulans. “Emak, sementara tinggal sama adiknya dulu ya. Supaya ada yang bisa kasih obat untuk mata Emak,” bujuk Nurcholis sambil menjelaskan tata cara pemakaiaan obat mata kepada Ibu Asturiah dan adiknya.

Semoga Allah lekas memberikan pandangan yang terang kepada Mak Haji agar keinginan mulianya bisa terwujud. Membaca kalam mulia Al-Qur’an, yang akan meneranginya di akhirat nanti. Mak Haji memberikan teladan hidup kepada kita. Tentang Allah yang tak akan pernah menelantarkan hamba-Nya. Tentang dunia yang tak seberapa dibanding akhirat yang abadi kelak, sehingga kejar apapun demi itu.

 

Sumber: rumahsehatterpadu.or.id

Read More

Sekilas Cerita Pak Pii Tukang Tambal Ban, Pasien Operasi Katarak

Cerita ini sudah beberapa tahun yang lalu, tidak ada salahnya kita ambil pelajaran. Bermula dari aktifitas Pak Pii biasanya orang menyapanya. Sehari hari bekerja sebagai tukang tambal ban. Beliau tinggal di Desa Sidomulyo Sidayu Gresik.

Semenjak menderita katarak, aktifitas beliau terganggu. “mboten saget balas nopo nopo” begitu kata yang teriring dari beliau ketika kami berkunjung. Sebuah doa yang tulus dari sepenggal kisah perjalan hidup bapak yang sudah terlihat sepuh ini.

Setelah menjalani operasi yang diselenggarakan atas kerjasama Desa Kauman dan Yayasan Katarak Peduli, Pak Pii akhirnya mengikuti screening dan lolos untuk menjalani operasi katarak yang berlangsung di Klinik Mata Utama. Tidak selang lama setelah operasi Pak Pii kemudian melakukan aktifitas mencari nafkah seperti biasanya.

Berikut beberapa cuplikan video percakapan dengan Pak Pii, semoga bermanfaat.

 

Read More
Menderita di Mata Manusia, Bisa Jadi Lebih Dahulu Mencium Aroma Surga

Menderita di Mata Manusia, Bisa Jadi Lebih Dahulu Mencium Aroma Surga

Siang itu saat aku sedang istirahat siang, tiba-tiba ada SMS yang masuk. Namun sengaja tidak segera kubuka karena SMS datang dari nomor yang tidak kukenal. Setelah menyelesaikan pekerjaaan yang menumpuk,baru kuambil Hpku. Tiba-tiba air mata ini deras mengalir membasahi pipi saat kubaca satu persatu kalimat SMS itu.

Saking kerasnya tangisku, suami sampai kaget, sambil bertanya “Ada berita apa? Dari siapa? Mengapa menangis?” Karena tak sanggup bercerita, maka suami membiarkan kesedihanku mendera untuk beberapa saat. Terbayang peristiwa beberapa tahun yang lalu saat aku masih menjadi mahasiswa program pendidikan dokter spesialis.

“Visite“ pasien-pasien di ruang bangsal setiap pagi adalah pekerjaan rutin seorang dokter yang sedang menempuh program pendidikan spesialis. Begitu juga denganku. Sambil memeriksa penyakit pasien yang sedang ku-”visite”, aku selalu tergerak untuk juga mengenal keluarga penderita lebih jauh.

Ada satu pasien yang mencuri perhatianku, sebut saja Nabila, seorang gadis kecil cantik berumur tiga tahunan dengan rambut ikal, bulu mata lentik yang nyaris tiap hari kuperhatikan. Bukan saja karena dia seusia anakku tapi keceriaan anak tersebut dan keluarga yang sederhana itu yang membuatku kagum. Tidak seperti pada umumnya pasien bangsal yang rata-rata dari keluarga dengan sosial ekonomi yang kurang itu, seringkali pasien kurang sabar dalam menjalani perawatan di RS apalagi dalam jangka waktu yang lama. Nabila adalah anak tunggal dari seorang ibu berparas ayu berkerudung, santun , lembut dan murah senyum. Selama beberapa hari di bangsal, tak sekalipun ibu Nabila terlihat mengeluh ataupun berkata kasar kepada anaknya. Satu poin yang berhasil kucatat karena tidak semua orangtua mampu melakukan itu dalam kondisi yang serba “susah” ini. Nabila juga ditemani ayahnya yang tak kalah sabarnya dengan sang ibu. Walaupun ayah ini tidak sempurna fisiknya, salah satu kakinya mengecil, tak sekalipun bapak ini meninggalkan kewajiban shalat lima waktunya.

Rasa empatiku yang tinggi pada Nabila dan kedua orangtuanya membuat aku tidak tega melakukan tugasku untuk mengoperasi mengangkat bola mata Nabila yang terjangkit kanker ganas. Malam hari sebelum tugas itu, aku gelisah dan sulit sekali untuk memejamkan mata, aku tidak tega setelah operasi nanti, pasti Nabila akan kehilangan bola matanya, pasti akan kehilangan penglihatan, pasti akan kesakitan, pasti akan dilajutkan dengan terapi tambahan untuk mematikan semua sel ganasnya, pasti akan lebih panjang lagi penderitaannya. Tak sanggup membayangkannya andai saja itu menimpa anakku.

Tidak seperti yang kubayangkan, Nabila ternyata gadis kecil yang sangat kuat. Setelah dipindah ke ruang bangsal usai operasi, sekitar kurang lebih 4 hari saja Nabila rewel minta digendong sambil membawa boneka kecilnya yang sudah tidak bisa dilihat lagi, karena bola matanya telah dioperasi sementara mata yang satunya sudah tidak berfungsi juga. Ayah dan ibunya tetap saja selalu sabar menghadapinya. Setelah beberapa minggu melalui serangkaian terapi, akhirnya Nabila diperbolehkan pulang karena kanker sudah menyebar ke bagian tubuh yang lain, yang artinya Nabila diterapi untuk mengurangi rasa nyerinya saja.

Sampai beberapa bulan kemudian masuklah SMS dari nomor yang tidak kukenal itu. Ternyata dari ayah Nabila yang mengabarkan kalau Nabila sudah dipanggil oleh Yang Maha Pengasih. Saat tangisku mereda, aku bercerita pada suami, aku sedih dan kasihan pada Nabila dan keluarganya yang sudah sabar tetapi masih ditambah ujian yang lebih berat lagi. Tapi kata suamiku ”Bisa jadi keluarga Nabila mencium aroma surga lebih dulu daripada kita karena kesabarannya merawat Nabila walaupun kelihatannya mereka menderita, sementara kita belum tentu bisa seperti keluarga Nabila” [DwiKap]

Gambar: Ilustrasi

Read More
Life Begins at Forty, Ada Apa dengan Usia 40 Tahun?

Life Begins at Forty, Ada Apa dengan Usia 40 Tahun?

Banyak yang beranggapan bahwa usia matang seseorang adalah ketika 40 tahun. Bahkan saya pernah mendengarkan seminar seorang pelaku bisnis mengatakan bahwa ketika seorang menapaki usia 40 tahun dan secara finansial dia cukup maka itu menggambarkan kehidupan finansial selanjutnya.

Di lain kesempatan saya ingat seorang motivator mengatakan usia manusia dibagi menjadi 3 tahap.
Pertama, 0 sampai 20 tahun: faktor kekuatan fisik yang dominan. Kedua, 20 tahun sampai 40 tahun: faktor kecerdasan akal yang dominan. Ketiga, 40 tahun sampai 60 tahun: faktor spiritual yang dominan.

Puber kedua konon juga dimulai saat usia 40 tahun. Ada yang mengistilahkan krisis paruh baya, berupa gejolak emosional tertentu yang terjadi pada rentang usia 40 tahun hingga 60 tahun. Tidak hanya dialami oleh kaum pria tapi sebenarnya juga dialami wanita, hanya saja berbeda karakter.

Krisis paruh baya disebabkan oleh tiga perubahan. Pertama karena waktu luang jadi lebih banyak. Anak-anak sudah mulai beranjak dewasa, kehidupan sudah mulai mapan sehingga bisa mencari kesibukan lain.

Kedua, terjadi perubahan bentuk fisik. Kesehatan mulai menurun, yang wanita mulai terjadi perubahan hormon hingga ada yang mengalami menopause.

Ketiga, terjadi perubahan struktur keluarga. Misalnya orang tua meninggal atau anak-anak mulai menikah dan meninggalkan rumah.

Islam memberi apresiasi tersendiri terhadap tahapan usia ketika mencapai 40 tahun seperti secara eksplisit ada dalam firmanNya dalam surat Al Ahqaf ayat 15.

“…. Apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai 40 tahun, dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridloi, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau dan sungguh aku termasuk orang muslim”

Doa dalam ayat tersebut dianjurkan untuk dibaca bagi yang berusia 40 tahun juga yang lebih dari usia tersebut. Diuraikan beberapa gejala dari mereka yang telah mencapai usia tersebut, tentang nikmat sempurna yang telah diterima dirinya dan orangtuanya, kecenderungan diri yang beramal positif serta terbangunnya keluarga harmonis, kecenderungan diri untuk bertaubat dan kembali pada Sang Pencipta serta ketegasan diri untuk mendeklarasikan sebagai pemeluk Islam yang seutuhnya.

Saya jadi teringat saya lulus pendidikan spesialis menjelang usia 40 tahun, mulai belajar tarjim juga di usia yang sama, belajar renang juga di masa itu, mulai menulis juga, mulai bijaksana dalam mensikapi perbedaan pendapat, mulai ini dan itu. Lalu bagaimana dengan anda? [Uyik Unari]

Read More