" World Sight Day " YKP Periksa Mata Penderita Katarak

Komunitas Dokter Mata Perempuan: Nemo

Tak banyak komunitas seperti Nemo. Sama-sama perempuan, sama-sama lulusan spesialis mata FK Unair, dan ingin kebersamaan mereka bermanfaat bagi masyarakat miskin. Komunitas ini gemar melakukan operasi katarak. Rata-rata tiap bulan 100 penderita katarak miskin mereka operasi secara gratis.
“Kalau yang ini yang paling suka TP (tebar pesona, Red),” kara dr Uyik Unari SpM,menunjuk rekannya, dr Lina Hutasoit SpM. “Dia paling gemar menghabiskan uang suami. Melakukan kekerasan dalam anggaran rumah tangga,” sambung Uyik, kemudian disambut derai tawa yang lain. Gantian Lina yang balas menggojlok Uyik. Suasana itu menambah gayeng wawancara yang dilakukanKamis (5/7) lalu di Grand City Surabaya.
Inilah suasana yang tergambar ketika para anggota Nemo-nama komunitas dokter spesialis mata lulusan Unair berkumpul.
Total anggota 11 orang, yakni dr Uyik Unari SpM, dr Miftakhur Rahman SpM, dr Ariesanti Trihandayani SpM, dr Elizabeth Sri Subekti , dr Lina Puspita Hutasoit SpM, dr Heni Wijayanti SpM, dr Yulia Primitasari SpM, dr Irma Pasaribu SpM, dr Dini Dharmawidyarini SpM, dr Yana Rosita SpM, dan dr Fitria Romadiana SpM. Koordinatornya adalah dr Uyik Unari.
Selain sebagai salah satu pendiri, dr Uyik menjadi koordinator karena dia mempunyai Klinik Mata di Gresik. Klinik tersebut menjadi tempat mereka melakukan bakti sosial (baksos) reguler.
“Juga mungkin karena saya yang paling cantik,”kata dr Uyik, bercanda, yang langsung disambut koor huuu…teman-temannya.
Menurut dr Ariesanti, salah seorang pendiri juga, Nemo berdiri pada 2007-an. Bermula ketika sebelas orang itu sama-sama menjalani pendidikan spesialis mata. Mereka tidak satu angkatan, tapi lima angkatan. Yakni angkatan 2006-2010. Ketika itu dr Ariesanti mengajak sejumlah rekannya hangout bersama, “Ternyata asyik-asyik dan gila-gila semua,” kata dokteryang kini bekerja sebagai dosen di Universitas Udayana, Bali tersebut kemudian ngakak.
“Mungkin masa kecil kurang bahagia semua, kecuali saya,” imbuhnya yang kembali disambut teriakan protes teman-temannya.
Kelucuan mereka juga terlihat dari pemilihan nama untuk komunitas mereka. Kata Nemo bukan berasal dari nama karakter ikan lucu di film. Juga bukan nama dari kapten mitos dari India yang menjadi komandan kapal selam Nautilus. Tapi justru terinspirasi dari geng perempuan yang gemar bullying, kami ingin yang positif. Nero ke Nemo,” tutur Ariesanti.
Keakraban yang terjalin dimanfaatkan untuk saling mendukung. Tentu dengan khas Nemo. Seperti Miftakhur Rahman. “Saya yang lulusnya akhir-akhir. Sebenarnya nyaris putus asa,” kata dokter yang berdinas di RSU Sidoarjo tersebut. Namun, Miftakhur Rahman akhirnya lulus berkat ancaman akan dikeluarkan dari Nemo jika tak lulus. “Diancam seperti itu sangat mengerikan bagi saya sehingga saya bekerja keras dan akhirnya lulus,” terangnya. “Ancaman akan dikeluarkan itulah yang merupakan dukungan bagi saya untuk cepat lulus,”tambahnya.
Selain itu, komunitas ini berfungsi sebagai kelompok terapi. Setiap masalah yang menimpa salah satu anggota pasti dikeroyok biar cepat selesai. “Masalah apa saja. Mulai pegadaian hingga masalah pribadi,”kata Ariesanti, dengan nada kocak. Saking akrabnya, ada konvensi tidak tertulis, bila salah seorang anggota pergi ke luar negeri untuk suatu urusan, tanpa diminta, sepuluh anggota lain masuk list mendapat oleh-oleh.
Tapi, tentu saja bukan keakraban itu yang membuat mereka layak diberitakan, melainkan aktifitas sosial mereka.”Selain gila-gilaan, kami ini punya jiwa sosial,”terangnya.
Karena latar belakang mereka adalah dokter spesialis mata, satu-satunya aksi sosial yang bisa dilakukan adalah mengobati mata para masyarakat miskin. Karena merupakan penyakit degeneratif yang bakal menimpa siapa saja, operasi katarak menjadi sasarannya.
Biaya operasi tersebut sekitar Rp 3,5 juta. “Pasti sangat memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Padahal kalau dibiarkan, sangat mungkin mengakibatkan kebutaan,”kata Uyik.
Untuk itu, ada dua jenis baksos yang mereka lakukan. Yang pertama adalah reguler. Pusatnya di Klinik Mata Utama di Gresik. Aksi sosial ini dilangsungkan secara terus-menerus. Setiap Senin dr Uyik dan stafnya melakukanscreening. Dia baru melakukan operasi mulai Selasa hingga Jum’at setiap pekannya.
Uyik dibantu rekan-rekannya.”Terutama yang bertugas dan berdomisili di Surabaya, Bangkalan, dan Sidoarjo,”terangnya. Jadi selalu ada rekan yang membantu saat baksos. Misalnya, yang dari Bangkalan datang tiapJum’at, kemudian dari Sidoarjo datang tiap Rabu. Begitu seterusnya. Rata-rata tiap bulan 100 pasien miskin dioperasi.
Kemudian baksos besar mereka lakukan setahun dua kali. “Itu menunggu semuanya kumpul dulu, baru baksos,”papar Uyik. Bagi mereka, baksos tersebut merupakan sasaran kedua. Yang utama adalah berkumpul bersama. “Pada dasarnya, kami ingin kumpul-kumpul. Tapi, kami juga ingin kumpul-kumpul kami bermanfaat untuk masyarakat,” tambahnya.
Untuk meringankan beban, mereka bekerjasama dengan banyak LSM dan perusahaan. Dengan skema ini, setidaknya beban yang mereka tanggung sedikit berkurang. Rata-rata dari LSM dan sponsorship, mereka mendapat subsidi Rp 900 ribu per pasien dari total biaya Rp 3,5 juta.
Namun, Uyik menyadari bahwa kerjasama itu tidak bisa selamanya berlangsung. “Ada keterbatasannya pula,”terangnya. Untuk itu ke depan mereka akan mendirikan sebuah yayasan. Rencananya, yayasan tersebut dinamakan Yayasan Katarak Peduli.
Dengan yayasan, Uyik dan teman-teman akan lebih fokus pada penanganan pasien saja. Soal tetek bengek administrasi diurus yayasan. Dana untuk yayasan ini rencananya didapatkan dari menghimpun CSR (corporate social responsibility) sejumlah perusahaan di Surabaya, Gresik dan Sidoarjo.
“Jadinya, nanti ada semacam dana abadi. Dana tersebut sepenuhnya dikucurkan untuk membiayai operasi katarak masyarakatmiskin,” tandas Uyik.
Uyik berharap katarak di kalangan masyarakat miskin kini bukan ancaman kebutaan lagi. Tak peduli semiskin apa pun, mereka bisa mendapatkan akses untuk operasi. “Ini karena di Indonesia katarak masih menjadi penyebab kebutaan nomor satu. Sebagian besar diantaranya terjadi di masyarakat kelas bawah, yang tak punya akses untuk operasi,” terang perempuan 43 tahun tersebut.
Sumber Jawa Pos, Rabu 11 Juli 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *